Peran Ormawa Dalam Perspektif Tukang Siomay



Peran Ormawa Dalam Prespektif Tukang Siomay

Tadinya aku mau kasih headline gini: Lagi, Terjadi Aksi Didepan Gedung DPRD JABAR. Ada apa yaa?

Tapi itu terlalu mainstream~

 Lagian aku ingin membahas sisi lain dari aksi tersebut.

Jadi mengesampingkan “aksi”nya gitu?

Bukan-bukan. Aksinya tetap dibahas, tapi dari sudut pandang yang berbeda.

Berikut penjelasan yang buat netizen melongo!

Bandung, 16 Agustus 2017. Tepat sehari sehari sebelum genap Indonesia merdeka yang ke 72. Aku menaiki sebuah angkutan kota jurusan ledeng-caheum, kebetulan saat itu aku melewati gedung DPRD Provinsi Jawa Barat. Ternyata segerombolan orang berdiri didepan gedung mewah itu.

Kok rame ya? Ada apa sih? Pikirku.
 Eh, ini mah demo? Demo apa ya? Pikirku lagi.

“Stop mang stop!” kataku kepada mamang angkot.

Otomatis si mamang ngerem mendadak sampai membuat seluruh penumpang yang tadinya bertahan dalam keadaan statis bergerak karena mempertahankan posisi statisnya.
 Aku turun dan ku bayar ongkosnya.

“Tumben bilang stop, gak bilang kiri?” kata si mamang.

“Takut disangka radikal” kataku. Wkwk engga deng, itu bercanda.

Ku lihat-lihat ternyata ini salahsatu aksi ormawa yang menolak PERPPU.

Aku turun bukan mau ikutan, tapi aku kepo level ubun-ubun.
Kudekati tukang siomay yang mangkal disana.
Sambil aku jajan sekalian aja aku tanya.

“Udah lama ini mang?” tanyaku.

“Dari tadi neng”

“Mamang udah lama jualan disini?”

“Lumayan neng”

“Sering ya ada aksi kaya gini?”

“Sering sih engga, tapi ada aja”

Kucoba menelaah setiap kata-kata yang diucapkan mang siomay tadi.

“Sering-sih-engga-tapi-ada-aja”
Oke, aku baru paham.

“Terus suka ada tanggapan gak dari yang diatas?” (IYKWIM)

“Tergantung neng”

“Tergantung?”

“Tergantung bobot persoalannya apa”

“Kalo aksi kaya gini bobotnya termasuk apa?”

“Wah, saya kurang tahu menentukan ukuran bobotnya itu dari mana”.

“Tapi kalo dilihat dari massa-nya mah sedikit ya?”

“Iya, sedikit”

“Dari tadi belum ada tanggapan juga dari atas ya?”

“Katanya lagi audiensi neng”

“Oh..” aku masih penasaran sih, siapa yang melakukan audiensinya? Kayanya sih ‘orang penting’ di ormawa nya. Tapi aku hanya melihat dari kejauhan saja. Didepan gedung itu masih berkerumun, bersuara lantang menyerukan aspirasi mereka.

“Kaum buruh juga suka demo ya pak?” tanyaku lagi.

“Kalo buruh itu banyaknya ke gedung gubernur neng, kan kebijakannya dari gubernur langsung”

“Hmm, oh gitu..”

“Belum lagi yang ormas-ormas, pasti melakukan aksi-aksi dititik tertentu”.

“Menurut mamang nih ya, aksi kaya gini tuh bagus gak sih?” ujarnya lagi.

“Kalo bagus atau enggaknya saya gak tahu, tapi aksi kaya gini kayanya harus”

“Wah? Kenapa harus?”

“Berarti ada kesadaran”.

“Kalo gaada aksi berarti gak sadar dong?”

“Ya engga juga sih hahaha”

“Hahaha”

Oke, sepertinya aku bisa menarik kesimpulan dari perbincangan kami tadi. Antara mahasiswa dibalik ke-“ormawa”annya, penguasa dalam gedung mewah, begitu pula tukang siomay yang selalu memperhatikan setiap ada aksi-aksi yang dilakukan olah berbagai pihak.

Benang merahnya adalah perihal “peran”, bagaimana seorang tukang dagang pinggir jalan memahami makna peran seorang mahasiswa? Darinya aku belajar, bahwa menjadi tukang bukan sekedar berdagang. Tapi juga sebagai pengamat sosial. Mamang siomay mengerti bahwa ‘Mahasiswa adalah garda terdepan dalam perubahan bangsa’ jika dalam nuraninya terdapat kesadaran.

Nah, mahasiswa disini berperan sebagai social control, yaitu mengendalikan keadaan sosial yang ada di lingkungan sekitar. Jadi, selain pintar dalam bidang akademis, mahasiswa juga harus pintar dalam bersosialisasi, interaksi dan memiliki kepekaan dengan lingkungan. Mahasiswa diupayakan agar mampu mengkritik, memberi saran dan memberi solusi jika keadaan sosial bangsa sudah tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa, memiliki kepekaan, kepedulian, dan kontribusi nyata terhadap masyarakat sekitar tentang kondisi yang teraktual.

Asumsi yang kita harapkan dengan perubahan kondisi sosial masyarakat tentu akan berimbas pada perubahan bangsa. Intinya mahasiswa diharapkan memiliki sense of belonging yang tinggi sehingga mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Tugas inilah yang  dapat menjadikan dirinya sebagai harapan bangsa, yaitu menjadi orang yang senantiasa mencarikan solusi berbagai problem yang sedang menyelimuti mereka.

Mahasiswa adalah salah satu harapan suatu bangsa agar bisa berubah ke arah lebih baik. hal ini dikarenakan mahasiswa dianggap memiliki intelek yang cukup bagus dan cara berpikir yang lebih matang, sehingga diharapkan mereka dapat menjadi jembatan antara rakyat dengan pemerintah.
“Harapan mamang setelah ada aksi ini apa mang?”
“Ya intinya jangan sampai ada keributan lah, kita kan gak tau yang didalam lagi apa, doain aja semoga menghasilkan sesuatu yang baik”
“Semoga diberikan hasil yang terbaik ya doanya”
“Iyalah. NKRI harga mati!”
“NKRI harga mati!”
“Hahaha”
Mengingat keesokan harinya adalah HUT RI yang ke 72, aku pun berpikir “Kenapa aksi seperti ini harus mendekati hari raya kemerdekaan? Kenapa engga gencatan senjata dulu gitu?”
Setelah audiensi dilakukan para massa pun membubarkan diri dan berpamitan dengan para aparat.
Aku tidak tahu hasil dari audiensinya apa. Intinya dari sana aku paham bahwa menjadi seorang tukang, entah itu tukang siomay, ketoprak, soto atau apapun, ternyata punya pola pikir yang hampir sama sama dengan mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi dalam memandang peran mahasiswa ketika melakukan “sebuah aksi” merupakan bentuk aplikasi dari seorang "social control"
Mang siomay, terimakasih telah membuka satu sudut pandang yang lain untukku. Kapan-kapan kita bertemu lagi :)

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Suka Duka Kuliah S2

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhqn