Romansa Sebuah Bangsa



Postingan ini berisi kisah cinta seorang wanita. Cinta wanita untuk lelakinya? Ya tentu saja, tapi yang akan diceritakan disini lebih dari sekedar itu, yakni cinta wanita untuk bangsanya.

Berbicara tentang cinta, tentu kita butuh 2 subjek manusia untuk “saling” didalamnya. Setuju ya?
Kalau Rangga-Cinta dan Dilan-Milea adalah kisah klasik masa SMA, kita naik kelas yuk, membahas kisah romansa bangsa Indonesia di zamannya.

Mengadopsi dari buku “Ku antar kau ke Gerbang” Karya Ramadhan K.H, juga monolog “Inggit Garnasih” yang diperankan oleh Maudi Koesnaedi kita belajar memahami makna cinta. Bahwasannya “Cinta adalah pengabdian”.

Menurutku kisah cinta dalam cerita ini melebihi roman klasik “Romeo-Juliet” atau cerita kepahlawan Peter Parker dan Mary Jane. Cerita ini merupakan perjuangan pasangan di masa pergerakan. Dimana dua insan yang saling mencintai ini saling bahu membahu dalam merebut kata ‘MERDEKA’ untuk tanah air tercinta.

Siapa yang tak kenal Sang singa podium, bung Karno. Mungkin sebagian besar dari kita tak banyak tahu bahwa Bung Karno mempunyai wanita istimewa yang menemaninya pada masa-masa pergerakan, sebelum akhirnya bersama Fatmawati. Dialah Inggit Garnasih, wanita yang terpaut 13 tahun lebih tua dengan Koesno –Nama kecil soekarno.

Siapa sangka cinta terlarang itu muncul tiba-tiba disaat Kusno telah beristri Oetari dan Inggit pun sudah bersuami Haji Sanusi. Seperti yang dicatatkan buku sejarah dan berbagai sumber literatur, bahwasannya Koesno menikahi Oetari atas dasar balas budi terhadap ayah Oetari -H.O.S Tjokroaminoto.

Kami berdua tidur seranjang, dan hanya tidur berdampingan. Meski secara hukum dia istriku tapi aku merasa bahwa aku sedang tidur berdampingan dengan adikku

Karena itu Oetari mendapat predikat istri pertama bung Karno “yang belum pernah disentuh”.
Begitulah kiranya perasaan Koesno ke Oetari. Beda lagi ketika takdir membawanya ke Bandung. Saat menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandung yakni cikal bakal ITB, bertemulah Koesno dengan Inggit Garnasih.

Inilah salah satu genre romansa bangsa Indonesia pada zamannya. Saat novel cinta dan karya sastra lainnya menceritakan sepasang manusia yang mengatasnamakan cinta untuk mencapai kebahagiaan, namun alur ini menggiring kita memaknai kata ‘cinta’ adalah untuk mencapai kemerdekaan. Kemerdekaan siapa? Keduanya? Bukan, lebih dari itu, kemerdekaan bangsa Indonesia!

Sejak saat itu, bisa dibayangkan oleh kalian, seorang wanita memandang seorang lelaki yang gagah, elok parasnya, dan pandai.  Wanita itu pun tahu benar jika dia cantik. Dan sebagaimana kodratnya perempuan, dia faham benar apa yang paling disukai lelaki dan bagaimana melumpuhkannya. Senjatanya adalah dengan senyum dan kerling mata.

Saat Kang Uci – panggilan akrab Haji Sanusi sedang sibuk-sibuknya di organisasi Sarekat Islam, sejak saat itu pula pelan-pelan seperti ada jarak yang terurai antara Inggit dan Kusno. Banyak malam mereka habiskan bercakap-cakap berdua di tengah rumah.

Inggit menceritakan kisah mereka dengan cukup gamblang bagaimana bentuk hubungannya dengan Kusno kala itu, dan bagaimana Kusno menceritakan semua permasalahannya kepada Inggit, sampai tentang gejolak batinnya atas pernikahannya dengan Oetari. Sampai pada suatu hari Kusno menyampaikan sosok istri yang diidamkan,

”Dalam kesempatan berdua dengan aku, Kusno pernah mencurahkan pikirannya dan perasaannya mengenai istri yang diidam-idamkannya. Ia harus merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan, katanya kepadaku.” (19)

Hubungan Inggit dan Kusno kian hari kian dekat, terlebih lagi kang Uci yang lebih sering menghabiskan waktunya diluar rumah bersama teman-temannya. Dan perceraian Kusno dengan Oetari seperti memberikan jalan bagi kedekatan hubungan mereka.

“Dengan tidak terasa saat-saat sepi telah direnggut oleh lautan asmara yang menjalar dan naik jadi pasang serta kami dengan tiada sadar telah tenggelam karenanya. Sampai pada suatu saat Kusno merayu aku dan aku pun peka. Aku pun terdiri dari darah dan daging, manusia biasa yang luluh oleh kesepian dan musna oleh pijar sinar cinta yang meluap.” (22)

Inggit pun mulai menyelam ke dalam diri Kusno. Mulai menemukan banyak ruang dalam dirinya yang tak diketahui semua orang. Anak muda yang bergelora. Singa podium yang menggetarkan semua orang.

“Kusno lantas mengajakku bicara. Ia mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan memintaku pada Kang Uci. Ya, Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi di antara kami di rumah ini. Kau bisa bayangkan, bagaimana mungkin seorang lelaki mencintai istri orang lain bahkan memintanya? Aku tidak tahu bagaimana sakitnya jadi Kang Uci. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa aku pun menyayangi Kusno dan bersedia bercerai dengan Kang Uci agar kami bisa menikah.”

“Kang Uci, mengapa akang memintaku mengalah?
Duhai, siapakah yang membawa takdir itu
ke dalam rumah kita...” – (Dalam Monolog Inggit)

Namun, bagaimana jawaban Kang Uci?

“Akang rido,” katanya,
“Kalau Eulis menerima lamaran Kusno itu dan kalian berdua nikah. Mari kita jagokan dia, sehingga benar-benar ia nanti menjadi orang penting. Mari kita bantu dia sampai ia benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai  ia benar-benar mencapai cita-citanya.” (40)

Ah! Kang Uci, bagaimana mungkin ia bisa menyerahkan Inggit dengan begitu saja ke Kusno kalau bukan rasa percayanya kepada seorang pemuda yang kelak jadi pemimpin bangsa.

Sejak itu, diresmikanlah hubungan antara Inggit dan Kusno dalam sebuah acara perkawinan yang sederhana. Kisah Inggit yang kini berstatus istri dari Soekarno dimulai. Inggit sangat sadar kehidupannya dengan Kusno akan mengalami banyak cobaan terlebih saat itu Kusno masih seorang mahasiswa dan aktivis yang memerlukan biaya untuk kehidupannya pribadi, sehingga Inggit pun merasa tidak perlu menuntut banyak kepada Kusno terkait kebutuhan ekonomi rumah tangga, Inggit pun memutuskan untuk berwirausaha dengan membuat bedak dan menjahit pakaian dalam untuk dijual. Semua itu Inggit lakukan tanpa pernah mengeluh, karena menurutnya ini bagian dari pengabdiannya sebagai seorang istri kepada suaminya.

“Kerjaku adalah membangunkan suamiku, mengingatkan waktu sembayang. Menyiapkan kopi tubruk dan sarapan. Mendorongnya untuk maju, menantinya dengan segala perasaan orang yang menunggu, menyatakan kasih sayangku, memuaskannya.” (46)

Setelah menjadi istri Kusno, Inggit pun makin jauh mengerti siapa suaminya. Singa podium itu tetaplah seorang lelaki. Anak muda yang selalu padanya minta disayang dan dimanja. Di dengar cerita dan keluhannya. Inggit tahu benar bagaimana memuaskan dan menenangkannya.

“Aku memang bukan perempuan student dan orang pergerakkan seperti Suwarsih Djojopuspito atau Suwarni, perempuan yang pernah berdebat dengan Kusno dalam sebuah rapat pemuda. Atau orang yang punya cukup pengetahuan tentang politik, pintar ngomong Belanda dengan setumpuk buku di rumahnya. Tapi dari cara Kusno menyayangiku, rasanya aku mulai tahu bahwa tak semua yang diperlukannya ada di dalam buku atau di antara student.”

Pelan-pelan Inggit mengerti akan hal itu. Dan itulah yang dia berikan dengan sebaik-baiknya, memberikan semua yang dibutuhkan. Dengan menjadi istri Kusno barulah Inggit mengerti, bahwa mencintai itu adalah sebuah pengabdian.

Tapi Kusno tak lantas menjadi seorang Tuan. Ia tetap seorang lelaki yang lembut dan amat menghargai. Ia tahu perbedaan di antara keduanya, usianya yang lebih muda dan pendidikannya yang lebih tinggi. Ia pernah bilang, bahwa seseorang bukan dinilai dari pendidikan, intelek, atau  keluasan pengetahuannya, tapi dari budi kasihnya sebagai seorang manusia.

Inggit menyadari bahwa menjadi istri Kusno baginya adalah hidup bersama seorang lelaki yang selalu digelisahkan oleh nasib bangsa dan tanah airnya. Dan ia berada di dalam kegelisahan itu. Menjaga dan merawat semangatnya. Bukan sekali dua kali Koesno jadi beringasan seperti ombak laut yang mengamuk, sehingga ia harus menenangkannya.

Bukan sekali dua kali pidatonya dalam rapat-rapat umum jadi perhatian polisi. Bukan sekali dua kali juga mereka diawasi dan dibuntuti oleh para cecunguk spion polisi. Tulisan-tulisan Kusno di beberapa surat kabar juga begitu, radikal dan selalu menyeru setiap orang untuk berani mengatakan “Tidak” pada kolonialisme.  

Apakah Inggit takut bersuamikan orang seperti Kusno? Tidak. Dia sama sekali tak gentar karena tahu siapa yang ia dampingi dan apa yang diperjuangkannya. Inggit sudah larut ke dalam darah Kusno. Semangatnya pun sudah bersatu dengan semangat sang suami. Meskipun predikatnya hanya menjadi istri yang melayani semua kebutuhan, tapi yang ia rasa semua itu adalah bentuk pengabdiannya juga kepada apa yang diperjuangkan suaminya.

“Bersama Kusno, aku hanyalah seorang perempuan yang tak mengambil peran apapun. Tapi aku larut ke dalamnya, ke dalam bagian paling penting dari sejarah negeri ini”.

Tapi, kau tahu, kekuasaan memang tak pernah punya telinga. Jangankan mendengar protes mereka, keadaan bahkan bertambah genting. Di Bandung penggeledahan terjadi di mana-mana. Siapa pun bisa dicurigai dan dijebloskan ke penjara. Orang-orang jadi takut, dan pelan-pelan mulai memandang Kusno seperti kuman penyakit menular.

Jika mencintai itu hanya bisa dilakukan dengan keras kepala, maka begitu juga perjuangan Inggit demi tanah air. Ketika suaminya dijebloskan ke penjara.

“Setiap hari aku berjalan ke Banceuy, membawa rantang makanan, berharap sudah bertemu dengan suamiku meski. Dan selama tiga minggu, aku hanya menemukan jawaban yang sama dari penjaga. Suamiku belum bisa dijenguk”.

Dalam keadaan seperti itu, ekonomi semakin sulit. Sambil berpuasa Inggit terus berusaha menutupi kebutuhan, dan itu tidak cukup lagi hanya dengan menjahit pakaian dan kutang. Ia jadi agen sabun, membuat rokok, jadi agen cangkul dan alat-alat pertanian.

Empatpuluh hari kemudian, datanglah kabar yang sangat ditunggu, Kusno sudah bisa dijenguk. Mereka bertemu di antara kawat yang memisahkan.

“Aku ingin merangkulnya, ia pun tampak berusaha menaham emosi. Dalam semua perjalanan selama ini aku selalu ada di samping suamiku. Dan kini kami dipisahkan. Bahkan tidak untuk sebuah rangkulan pun”.

Kusno dimasukkan ke dalam sel yang lebarnya hanya satu setengah meter, separuhnya sudah terpakai untuk tempat tidur. Panjang sel itu sama panjangnya dengan peti mati. Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan.

“Meski aku tahu dan telah menyiapkan hati jika semua ini bakal menimpaku, tapi ketika pertamakali pintu yang berat itu tertutup rapat di hadapanku, aku rasanya hendak mati.”         Begitu Kusno bilang.

Tak bisa dibayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya di tempat semacam itu. Inggit tahu benar, dia lelaki yang suka dengan kerapihan dan sangat pemilih. Menyukai pakaian yang bagus dan harus selalu tampak rapih. Ia tidak suka segala yang tampak kotor. 

“Tidak, kasep. Jangan berpikir begitu. Jangan berkecil hati. Di rumah semuanya beres. Aku masih bisa bekerja untuk mencari uang. Beres, kasep, beres.” Inggit menenangkan.

Kusno masih memandang Inggit dengan mata sorot mata yang lemah. Inggit pun memandangkan ke arah mata Kusno. Dan ia bilang dengan suara tegas,

“Tegakkan dirimu, Bung karno! Tegakkan! Ingat semua cita-citamu untuk memimpin rakyat! Jangan luntur hanya karena cobaan dan penjara! Aku istrimu akan berada di sampingmu dan akan selalu di sampingmu!”

Kusno meminta Inggit mengirimkan semua bahan bacaan diperlukannya untuk menyusun gugatan itu. Tentu saja tidak mudah menyelundupkannya. Tapi tak ada yang bisa menghalangi Inggit untuk mendampingi Kusno. Melakukan apa yang diperlukannya.

Buku-buku tebal itu ia ikat ke tubuhnya, disembunyikan di balik stagen. Inggit berpuasa dua sampai tiga hari agar perutnya menjadi kecil, agar buku itu tidak terlalu tampak. Mulanya ia begitu takut. Apa jadinya kalau penjaga mengetahuinya! Tapi ini harus ia lakukan. Kusno memerlukan buku-buku itu. Beruntunglah para penjaga penjara itu tak menaruh curiga. Begitulah, sampai semua buku yang diperlukan Kusno untuk menulis pembelaannya itu bisa kuselundupkan ke dalam penjara. Setiap kali pulang dari Banceuy, tubuh Inggit benar-benar lemas...

Akhirnya Inggit lolos dalam pengawasan seorang penjaga yang mengawasi pertemuan mereka, ia dengan keringat dingin bisa menyelundupkan buku dan semua bahan yang diperlukan itu pada Kusno. Dengan sebuah isyarat, Kusno juga mengerti bahwa di dalam kue nagasari itu telah Inggit masukkan uang logam.

Dua kali seminggu ia mengunjungi suaminya. Inggit diijinkan membawa buku untuk Kusno, tapi tidak boleh buku politik. Bahkan pembicaraan mereka berdua pun selalu diawasi oleh seorang penjaga. “Kami dilarang membicarakan hal-hal politik.”

Tapi Inggit tak pernah kehilangan akal untuk memberitakan perkembangan yang terjadi di luar pada Kusno. Diam-diam ia membuat sebuah kode atau sandi melalui buku-buku agama yang kirim untuknya. Sandi itu dibuat dengan cara melubangi huruf dengan jarum sehingga jika ia merabanya bisa menjadi sebuah rangkaian kalimat.

Meski dalam penjara Kusno pun memerlukan kebutuhan yang membuatnya harus mencari akal mendapatkannya. Termasuk uang yang diperlukan. Pernah suatu kali Kusno meminta uang sebanyak enam gulden. Uang itu untuk menyogok para penjaga agar mereka bersikap baik dan memberi keleluasaan. Seperti biasa, Inggit mengusahakan uang itu, mengirimnya dengan cara memasukkan uang itu ke dalam kue, sehingga tidak diketahui penjaga.

Dari penjara ke penjara ia tempuh...

“Sungguh, aku tak pernah memberi tahu pada suamiku tentang satu hal, yaitu, aku sering ke Sukamiskin hanya dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumahku di Astana Anyar menuju Sukamiskin haruslah ditempuh dengan kendaraan. 10 kilometer jauhnya. Tapi keadaan kami sedang susah dan kebutuhan suamiku haruslah didahulukan.

Pernah suatu kali, hari sedang hujan dan aku pulang berjalan dari Sukamiskin. Sesekali aku berteduh di emperan toko. Tidak, aku tak ingin suamiku mengetahuinya. Ia sudah cukup berat memikirkan dirinya dan perjuangannya. Aku ingin suamiku tenang dan tetap menjaga semangatnya”.

Kusno berkata :
“Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama”

Kau tahu, bangga sekali Inggit mendengar jawaban suaminya itu.

Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya, Inggit membantu mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut di balik kebayanya.

Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, "Indonesia Menggugat", yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

***
Inggit tetap mencintai dan mendukung Kusno meskipun dalam bui dan buangan.

Masa-masa pembuangan di Ende dan Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno.
 Sebetulnya, Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut bersama suaminya dalam pembuangan. Namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka.

Usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak kuasa melihat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya bersama Inggit di Bengkulu.
Seiring kekalahan Belanda dan berkuasanya Jepang di Indonesia pada 1942, Sukarno dibebaskan dan dikirim ke Jakarta. Hingga akhirnya, Sukarno meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati.

"Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama,” ucap Sukarno (Cindy Adams, 1965).

“Jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukuman agama dan dan hukuman sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan," imbuhnya.

Seperti yang dicatatkan sejarah pula, bahwa pernikahannya dengan Inggit, bung Karno tidak mendapatkan keturunan.

Inggit tentu saja menolak untuk dimadu hingga Sukarno terpaksa menceraikannya meskipun bukan itu yang diinginkannya.

Kisah cinta Inggit Garnasih dengan Bung Karno, berjalin dengan perjuangan dan pengorbanan. Inggit bagi Soekarno adalah alter ego -kewanitaan yang abadi ( das ewig weilbliche ), kata pujangga Goethe. Tapi apakah yang abadi di dunia ini? Di muka gerbang kemerdekaan Inggit berpisah dengan Soekarno, hatinya tetap penuh kasih, maaf dan doa.

“Tidak usah minta maaf Kus, pimpinlah negara ini dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu dirumah ini”.

Akhirnya setelah hampir 20 tahun bersama melalui susah senangnya kehidupan, dari penjara hingga pengasingan, Sukarno dan Inggit akhirnya resmi berpisah pada pertengahan 1943. Dan memutuskan menikahi Fatmawati

Kisah cinta itu berakhir dramatis. Dari sana kita tahu, jika bung Karno api, Inggit lah kayu bakarnya. Setiap kelelahan, Kusno memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi. Siapa lagi pembakarnya kalau bukan Inggit yang menjadikan ia berapi-api.

Pantas saja kalau ia berujar “Laki-laki dan perempuan seperti dua sayap seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya maka terbanglah burung itu ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu diantara dua sayap itu maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali” –Soekarno

Berakhirnya kisah cinta Inggit dan Kusno mengajarkan kita sebuah pengabdian dan perjuangan memperebutkan kata ‘MERDEKA’. Kisah cinta yang tidak cengeng namun dewasa.

Maka kalimat penutup dari Inggit inilah kiranya cambukan bagi para perempuan. Bahwa semewah apapun istana tidak akan bisa menandingi harga dirinya sebagai wanita. Inggit memang bukan ibu negara, tapi jasanya akan selalu terkenang di hati Kusno dan bangsanya.

“..Bahwa sesungguhnya aku harus senang pulang karena menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga. Ya, di gerbang hari esok yang pasti akan jauh lebih berarti, yang jauh lebih banyak diceritakan orang secara ramai. Dan mungkin yang jauh lebih gemerlapan, lebih mewah. Tetapi apalah arti kemewahan. Yang penting adalah kebahagiaan dan itu adanya di dalam hati. Ya, yang terpenting adalah soal di dalam hati! Kebebasan, itulah yang penting... (454).

Referensi; Kuantar Kau Ke Gerbang, Ramadhan K.H., dan Monolog Inggit

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Suka Duka Kuliah S2

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhqn