Teknik itu Pelik, Jangan Baper Kalau Diusik! (Part 1)


Teknik itu Pelik, Jangan Baper Kalau Diusik! (Part 1)


Sebuah catatan mahasiswa tingkat akhir –ditengah hiruk pikuk tugas perkuliahan.

Tulisan ini sebenarnya pelarian saya dari pertanyaan “kapan seminar?”, disaat yang lain sudah mulai seminar kerja praktek, saya malah ngopi sembari tulas tulis macam ini =) Enjoy the ride, kalau kata temen saya mah wkwk. Bukan berarti mau lari dari tanggung jawab sih, tapi adakalanya kita keluar dari titik fokus untuk mencari pencerahan agar ketika kembali ke titik itu, kita dapat sesuatu yang baru #ngeles.

Akhirnya saya merasakan fase ini juga, dan ternyata.. GA ENAK! Rasanya panas matahari juga gak sepanas kalimat “Besok aku seminar, kamu kapan?”. Hmm. Kalian yang nanya ‘kapan seminar?’ kalau tiba-tiba saya seminar diluar kota gimana? #thuglife (siapa tau kan ya? Kata Soekarno juga, bermimpilah setinggi langit, jika jatuh, kau akan terjatuh diantara bintang-bintang)

Serba salah jadinya, mau senang, belum tenang, karena tugas sendirinya belum selesai. Mau sedih, masa bersedih dibalik kesenangan orang lain sih? Gak banget kaaan? Yasudah saya mencoba b aja. Iya, biasa aja… tapi… tetep panas sih. wkwkwk. Gak apa-apa kan ya panas-panasan dalam hal kebaikan?

Itu latar belakang, baiklah, mari kita masuk ke pembahasan tentang peliknya dunia perkuliahan… versi al-absurd. Just unek-unek sih, no offense ya, kalau ada yang tersinggung mungkin anda butuh piknik, sama sih saya juga :(( Gimana kalau kita piknik bareng? daripada ciptakan kesenjangan mending kita ciptakan kesenangan. #apasih

Oke, daripada makin ngalor ngidul bahasannya, mending to the point!

***
Perkenalkan, saya mahasiswa tingkat akhir Fakultas Teknik salahsatu Universitas swasta di Bandung. Awalnya saya tergelincir masuk ke sini, karena jurusan yang diambil adalah ‘bukan gue banget’, dampaknya adalah antara kuliah segan, nganggur tak mau. Pokoknya sedih lah kalau diceritain detailnya mah. Tapi ya namanya hidup kan dinamika, gak selamanya jalan kita mulus. Kalau apa-apa yang kita dapat sesuai dengan yang kita ingin, kapan belajar ikhlasnya? Kapan kita naik levelnya? Game aja kalau mau naik level tantangannya makin susah, bukan?

Mahasiswa? Harus konsekuen dong! Akhirnya saya pun bertahan pada pilihan meski harus terseok-seok. Seperti berjalan dalam labirin. Saya tidak tahu apa yang ada didepan saya, harus melangkah kemana, dan hal-hal tak terduga lainnya menunggu di depan sana. Tapi itulah seninya hidup. Menantang. Me-nan-tang! Masa muda itu jenjang kehidupan paling optimal, berani mengambil tantangan berarti berani mengoptimalkan kemampuan.

FYI jurusan yang saya ambil adalah Teknik Informatika, padahal saya inginnya masuk ke jurusan Pendidikan Sosiologi. Jaka sembung kan ya? -,- sampai temen saya aja gak percaya “Kamu ulangan TIK wae remed, jol kuliah Informatika?” katanya. Hmm, untung temen ~

Karena saya korban PTN dan bingung mau kemana lagi, ditambah daya saing di SMA yang sangat ketat (gengsinya gede) akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di... tempat saya kuliah sekarang. Menyesal? Tidak, justru saya bersyukur dapat banyak pelajaran disini (Hoeeek. Padahal dulu merengek-rengek pengen pindah wkwk)

Seperti nelen ludah sendiri, saya pernah ngatain anak IPA yang kuliah ngambil jurusan IPS hanya karena gengsi sebagai “perebut lahan orang”. Eh sendirinya malah keluar dari jalur, jadi anak IPS murtad wkwk. Karena yang saya ambil rumpun keilmuan IPA, ya abis kesel juga sih, image anak IPS yang selalu dinomor duakan :((

But, life must go on. Saya pun menentang arus dengan tangan kosong. Mulanya saya bangga, berganti predikat dari siswa menjadi mahasiswa karena ada kata ‘MAHA’ didepannya. Karena maha semakin didepan #apasih. Berasa naik derajat gak sih jadi mahasiswa itu? Jadi mahasiswa itu keren, karena selalu digadang-gadang masyarakat sebagai garda terdepan perubahan bangsa. Tapi predikat itu bakal klise kalau gak ada effort yang kita diberikan ke masyarakat luas.

Itu intermezzo, baru berganti predikat. Mulailah saya menjalani perkuliahan yang absurd. Tingkat awal masih bisa haha hihi, kesini-kesininya mulai hiks hiks hiks :(( Sempat kepikiran ingin loncat dari lantai 6 gedung perkuliahan, pindah jurusan ke kebidanan atau tata boga, tapi Alhamdulillah tidak terealisasikan. Ya kalau beneran, saya gak mungkin nulis ini dong?

Se-dramatis itukah hidup saya? Biasa aja sih sebenernya, di dramatisir aja biar seru wkwk. Tapi ini based on true story kok. Kalian percaya? Jangan. Tapi kalau mau, ya silahkan.

Ada yang lebih dramatis dari adegan papasan dengan lawan jenis dan menjatuhkan beberapa buku dikoridor kampus? Mungkin jawabannya adalah adegan komat-kamit baca doa pas ujian ALPRO dengan bercucuran keringat dingin. Jujur, saya takut gak lulus mata kuliah ini. Masalahnya saya ngoding di laptop aja suka error, apalagi di kertas !???

Ada pertanyaan menggelitik yang sering terlontar “Emang jadi mahasiswa Teknik Informatika harus punya skill coding ya?”, hmm mungkin itu hampir setara dengan pertanyaan “Emang jadi mahasiswa kebidanan harus punya skill persalinan ya?” jawabannya sama, yaitu “YA IYALAH!”. Jika ada yang mengelak “Kan mahasiswa kebidanan memang dibentuk untuk jadi bidan, kalau mahasiswa Teknik Informatika belum tentuk jadi programmer semuanya”. Ah, itu mah pembelaan saja bagi mereka yang gak mau belajar :p

Memang sih jurusan kita saat kuliah tidak mengharuskan kita menjadi apa nantinya. Berprofesi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan jurusan kita pun tidak masalah. Karena parameter kesuksesan seseorang itu berbeda-beda. Pak Mario Teguh saja tidak kuliah dijurusan Ilmu Motivasi sebelumnya kan? wkwk.

Tapi yang saya tau, mata kuliah ini (re: programming) adalah mukanya Informatika, gak bisa ngoding itu kaya dosa besar anak IF, dan menciderai keilmuan dia sendiri. Memang niat orang masuk ke salahsatu jurusan itu berbeda-beda. Namun terlepas dari tujuan, ketika kita masuk ke dalam wadah bernama perkuliahan, kita akan terikat oleh tanggung jawab bidang keilmuan yang kita pilih. Karena pada akhirnya setelah lulus kita akan dikenal sebagai lulusan dari jurusan tersebut. segimanapun saya gak suka dengan matematika atau algoritma, mau gak mau harus bisa mempertanggung jawabkan pilihan saya dong? (Gila gak siiih semester 1 udah mikir kesana? Mikir doang, usahanya kagak wkwkw. Usaha deng).

Akhirnya berkat usaha dan doa yang agak keras, saya pun lulus mata kuliah itu dengan nilai A. kalau kalian gak percaya, ada nih di transkrip nilai saya (Ini antara ingin memberi inspirasi sama sombong beda tipis ya? wkwk).

Meskipun rada ngahuleng pas pelajarannya, suka mengernyitkan dahi dan bertanya “naon sih?” kepada diri sendiri saat kuliah, sedikit demi sedikit pemikiran saya terbuka. Iya terbuka, gaada isinya wkwkwk. Ada deng, terisi dengan something new yang saya dapatkan disini. Semacam ada kebanggaan tersendiri ya, apa yang kita dapat sesuai dengan apa yang kita usahakan. Berarti benar kata pepatah, “Orang yang tidak berproses tidak akan tahu indahnya seni berjuang”.

Tapi walaupun begitu, saya belum sepenuhnya suka ngoding. Sudah nanya ke temen yang username ig-nya @sukangoding gimana caranya biar suka ngoding? Tapi tetep aja belum suka ngoding. Dia menjawab, “nama itu adalah doa”, jadi sebenernya dia juga gak suka ngoding-ngoding amat. Ya Tuhan, apa iya saya harus ganti username jadi sukangoding2 biar suka ngoding juga?

But, I trust myself. Kemampuan seseorang kan berbeda-beda. Gak apa-apa saya gak suka ngoding, untuk mengampuni dosa ini harus di kompensasi dengan sesuatu yang saya suka. Menulis misalnya, memang saya belum mahir tapi setidaknya saya suka. Kalau sudah suka, ya maunya dilakukan berulang-ulang. Wong ngoding sama nulis itu sama-sama ngotak kok. Bedanya, ngoding pake otak kiri, memproses secara linear, terstruktur dan pake logika. Kalau nulis pake otak kanan, memproses secara holistik, kreatif dan cenderung pake intuisi.

Dikotomi ini nih yang justru membuat saya tertantang. Antara daya nalar dan imajinasi yang bertabrakan kudu disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan. Harus pandai-pandai nempatin kapan pake logika, kapan pake intuisi.

Kata Albert Einstein, nalar bisa membawa kita dari A ke B, tapi imajinasi bisa membawa kita kemana saja. Kalau saya boleh membela diri, programmer memang bisa membuat suatu program dengan sukses menggunakan satu bahasa pemrograman, tapi penulis bisa menciptakan ruang sendiri dengan bahasa sendiri yang (mungkin) hanya ia yang mengerti. 

Itu kenapa organ tercantik dan terseksi dalam tubuh manusia adalah otak. Tapi, jangan samakan otak manusia dengan otak hewan. Jelas beda, otak hewan bisa dimakan, otak manusia? Bisa, kalau anda penganut kanibalisme. Sama-sama punya otak, mengapa derajat manusia dan hewan berbeda? karena manusia punya akal, hewan tidak. Otak itu hardware, akal softwarenya. Punya otak tapi gak dipake sama aja kaya laptop gak ada sistem operasinya (Yes! Akhirnya ada bahasan yang keinformatika-informatikaan =))

Jadi mleber kemana-mana ya, tapi pointnya adalah… jangan baper kalau di usik. Di usik sama siapa? Ya sama orang lain ataupun diri sendiri. Ditanya “kapan seminar?” ya tinggal jawab, “kalau sudah di acc dosen pembimbing”. as simple as that.

Tapi yang sulit itu di usik sama diri sendiri. Pergulatan batin antara ‘aku’ dan ‘alter egoku’. Ya anggap aja konflik batin ini sebagai bumbu atau mecin. Tapi jangan kebanyakan ngebatin juga, mecin aja kebanyakan bisa bikin *tuuuuut* wkwk.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Suka Duka Kuliah S2

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhqn