NIKAH MUDA DALAM KACAMATA MASYARAKAT DESA & UNDANG-UNDANG PURBA PERKAWINAN
Satu persatu teman sebaya disekitar rumah saya melepas masa lajangnya, yang berstatus “belum kawin” dikolom KTP-nya mungkin bisa di itung jari, itupun mereka yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi atau bekerja merantau keluar daerah. Sisanya? Sudah menggendong bayi, bahkan ada yang anaknya sudah SD. Saya sedih, karena ditinggal nikah duluan? Kalau boleh jujur iya, tapi kesedihan saya tidak sesederhana itu.
Satu
persatu saya kehilangan teman main. Ketika saya melanjutkan pendidikan ke
sekolah menengah, banyak diantara teman saya yang memutuskan untuk menikah. Padahal
usianya sangat dini, teman seangkatan saya yang pertama nikah itu ketika kelas
1 SMP. Boro-boro baper, saya liat lawan jenis aja masih hare-hare. Paradigma “perawan tua adalah sebuah aib” ternyata masih
mengakar dilingkungan tempat saya tinggal. Dampaknya adalah orang tua menikahkan
anaknya meskipun usianya yang sangat dini.
Ini
kalau dibuat sistem pendukung keputusan untuk nikah, parameter bagi masyarakat
desa itu simple, hanya dengan “bisa bekerja” saja sudah cukup. Tak peduli pola
pikirnya sudah matang atau belum, tak peduli berapa nominal hasil pekerjaan
mereka, yang penting “bisa makan”. Lulusan SD, sudah bekerja, sudah bisa cari
makan sendiri, ya sudah, nikah. Ini yang buat saya sedih..
Padahal
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur
16 (enam belas tahun) (UU RI.NO 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Kebijakan
pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui
proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak
benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut
pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu
maupun anak yang dilahirkan.
Faktor
ekonomi dan faktor pendidikan pun sangat berpengaruh, banyak diantara teman
saya yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena kesulitan ekonomi akhirnya
memutuskan untuk menikah, dengan menikah dan bekerja bersama pasangan, mereka
pikir akan meningkatkan taraf hidup keluarga. Saya bilang ini tidak salah...
Tapi, menurut David Reuben “Perkawinan itu seumpama perjalanan laut yang jauh
dalam sebuah perahu yang kecil. Jika penumpang yang satu menggoncang perahu, maka
penumpang yang lain harus menjaga kestabilannya. Kalau tidak, mereka akan karam
bersama-sama”. Jadi memutuskan untuk menikah itu banyak yang harus dipertimbangkan
agar “tidak karam bersama-sama”.
Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa sempat menyinggung hal ini. Ia berkata perspektif demikian hanya akan
mewariskan kemiskinan. “Unskilled labor bertemu unskilled labor,
kan, sama aja mewariskan kemiskinan. Sebenarnya bukan menyelesaikan, orangtua
hanya menurunkan kemiskinan kepada anak dan cucunya,” ujar Khofifah.
Pada tahun 2000, saat menjabat
menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Khofifah mengajukan
revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Ia meminta agar batas minimum usia perkawinan
bagi anak perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun. Tapi upaya ini gagal. “Undang-Undang tersebut sudah tidak relevan.
Ini tahun 2017, sudah lebih dari 40 tahun,” kata Khofifah.
Jangankan dinaikkan jadi 18
tahun, sekalipun ada ketetapan undang-undang yang mengatur pernikahan dengan
batas minimum 16 tahun saja nyatanya masih ada praktek pernikahan dini
dikarenakan adanya fasilitas dispensasi dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Praktek pernikahan dini sering
dipengaruhi oleh tradisi lokal. Apalagi orang tua yang masih menganut prinsip
kalau perempuan itu tidak usah sekolah tinggi-tinggi. Hal seperti itu saya
sempat dengar langsung dari orang-orang dilingkungan tempat tinggal saya, ketika
seorang perempuan tidak melanjutkan sekolah bisa ditebak apa episode
selanjutnya? Nikah muda. Ya, ini yang membuat saya sedih. Seolah-olah perempuan
desa itu tidak boleh maju. Namun, alhamdulillahnya seiring perkembangan zaman, pola
pikir itu semakin hari semakin berkurang.
Alasan lain yang kerap
dikemukakan oleh orang yang secara langsung melanggengkan praktik pernikahan
dini ini adalah untuk "menghindari zina." Saya pikir menghindari zina
tidak salah, tapi hal ini bukan satu-satunya alasan untuk menikah, apalagi
diusia dini. Banyak diantaranya anak umur belasan yang memutuskan untuk
menikah, tapi ujung-ujungnya cerai dan menyandang status janda. Karena belum
matangnya pola pikir mereka tadi, mengambil keputusan secara cepat dengan
parameter yang simple.
Fenomena
nikah muda menjadi kultur sebagian besar masyarakat desa di Indonesia yang masih
memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas 2, perempuan tidak usah sekolah
tinggi-tinggi, stigma negatif tentang status “perawan tua”, dan alasan klasik
lainnya yang mungkin sering kita dengar.
Memang
pengaruh nikah muda dengan masalah yang timbul di masyarakat tidak secara
langsung signifikan. Tapi, dengan memandang isu “nikah muda” dan merujuk kepada
undang-undang purba perkawinan tersebut, kita bisa tahu betapa kompleksnya
aturan itu sehingga mencerminkan
keragaman nilai dan norma sosial di Indonesia.
Mungkin salah satu rekomendasi yang
perlu dijalankan dari sekarang adalah dengan berinvestasi dalam pendidikan. Khususnya
untuk menyelesaikan sekolah menengah atas sebagai salah satu cara terbaik untuk
memastikan anak perempuan mencapai usia dewasa sebelum menikah, sehingga
mengurangi praktek pernikahan dini.
Seiring dengan kemajuan zaman, di
desa tempat saya tinggal pun sudah mulai menyadari pentingnya pendidikan, minimalnya
mereka bercita-cita anak-anak harus tamat SMA, syukur-syukur bisa sampai
sarjana. Dimulai dari hal ini, semoga angka pernikahan dini berkurang selaras
dengan berkurangnya permasalahan dimasyarakat. Serta menciptakan sumber daya
manusia masyarakat desa yang berkualitas.
Comments
Post a Comment