PELAJAR ABADI (Manusia sebagai life-long-learner)




“Kuliah, neng?” Tanya seorang ibu disamping saya ketika mengikuti acara seminar di sebuah tempat.
“Iya, bu” jawab saya.
“Oh.. Jurusan apa?” Tanya beliau kembali.
“Informatika..”
“Oh.. Pantesan..”.

FYI, seminar yang kami ikuti itu tentang digital marketing yang bisa dihadiri oleh umum alias siapa saja. Namun waktu itu kebanyakan audiencenya adalah penggiat bisnis atau pengusaha-pengusaha di lini kecil menengah. Ya, orientasi seminar tersebut memang digitalisasi usaha kecil menengah. Bagaimana memfasilitasi para pengusaha tersebut mendigitalkan usahanya agar pencapaian tujuannya lebih efektif dan efisien. Dan salutnya, orang dengan berbagai background bisnis berkumpul disini ((dalam hati: seneng juga sih, karena topik TA saya menyangkut itu))

Singkat cerita, saya berkenalan dengan ibu disamping saya itu. Katanya beliau punya usaha katering dan ingin usahanya maju. “Tapi saya gaptek, neng. Makanya saya ikut seminar ini..” ujar beliau. Kemudian beliau menceritakan bagaimana awal mulanya merintis bisnis tersebut sampai sekarang.

Percaya atau tidak, ketika acara itu berlangsung, ibu tersebut menyimak materi dengan serius dan mencatatnya. Ketika ada yang tidak dimengerti pun langsung nanya ke saya. “Neng, itu maksudnya apa?”. “Neng, cache tuh apa?”. “Neng, nanti eneng ajarin ibu ya, ibu mah gaptek tapi pengen bisa” katanya.

Ih, masya Allah. Kok saya kagum ya? Kalau dikira-kira umur ibu tersebut sekitar 50an lah, diatas orangtua saya sedikit, tapi semangat belajarnya kok melebihi saya yang masih umur kepala 2 ya? heuheu jadi malu :’) Di satu sisi saya senang karena ada orangtua yang semangat belajarnya tinggi sekali, sekaligus saya bisa mengamalkan pemahaman saya yang engga seberapa ini. Tapi sisi lain sedih juga, karena semangat saya tidak setinggi ibu itu.

Dan yang paling bikin saya sedih itu pas ibunya bilang “Harusnya mahasiswa tuh ngajarin yang belum faham kaya ibu gini, biar ilmunya engga ngendap, ya neng? Hehe”. Hehe saya cuma senyum. “Harusnya yang pinter itu jangan minterin orang kecil kaya ibu. Udah mah ibu gak sekolah tinggi, masa ibu mau dibodohin sama orang? Makanya ibu belajarnya dari mana aja hehe. Eneng kalau udah jadi sarjana tong jadi guminter ya, neng” katanya seolah berharap. (guminter= sok pinter)

Hmm saya bingung mau jawab apa jadinya. Antara ingin meng-iya-kan statement si ibu dan menangkap maksudnya: bahwa dipundak mahasiswalah masyarakat berharap ada perubahan. Berat… Barulah terasa alur jadi mahasiswa itu bukan sekedar papasan dikoridor–menjatuhkan buku–kemudian jadian, bukan! Hidup tak seindah FTV salon kawaaan. Tapi, mahasiswa juga bukan pesulap yang memegang tongkat sihir dan bisa memberikan pemecahan masalah secara instan. Pertemuan dengan si ibu itu seolah menyentuh dinding kesadaran saya, bahwa kebermanfaatan ilmu dibangku sekolah akan lebih terasa didunia nyata.

Seperti dosen yang menguji mahasiswanya, ibu itu nanya berbagai hal ke saya. Saya salut dengan rasa keingin-tahuannya yang tinggi, tapi saya juga malu kalau gak bisa jawab pertanyaannya. Jadi mikir “Selama ini saya kuliah ngapain aja yaaa?” heuheu. Benar kiranya kata pepatah “Apa yang kita tanam itu yang kita tuai”. Apa yang dipelajari dibangku sekolah pun tidak semuanya nyangkut di otak saya. Ada yang memang nempel, tapi ada juga beberapa yang lagi jalan-jalan keluar, entah balik lagi ke otak saya atau enggak, saya gak tahu. Yang ditanyakan si ibu itu tidak semuanya terjawab, saya bilang “Saya juga belum faham bu, masih belajar..”. Terus katanya “Yaudah, kita sama-sama belajar neng…”.

Bertemu dengan ibu tersebut seolah menyadarkan saya bahwa menjadi manusia adalah pembelajar sepanjang hayat atau ‘unstoppable learner’ yang tidak akan pernah berhenti untuk belajar dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun. Pembelajaran sepanjang hayat ini tidak meliputi pendidikan formal dibangku sekolahan saja, namun juga informal. Karena belajar adalah proses yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang dan menjawab kegelisahan.

Didukung pula oleh Firman Allah, ketika menilik sejarah turunnya Al-quran pertama kali, Q.S Al-Alaq ayat 1-5, perintah yang disampaikan dalam ayat itu adalah membaca. Ketika itu Nabi Muhammad SAW sedang dilanda kegelisahan akibat kejadian yang sedang dialami di negeri tempat kelahirannya. Kemudian beliau memutuskan untuk berdiam diri di Gua Hira, dan disitulah beliau mendapatkan wahyu dari Allah SWT yaitu Q.S Al-Alaq yang berbunyi: ([1])"Bacalah, dengan nama Tuhanmu Dzat Yang Menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. (4) Yang mengjar dengan perantara kalam. (5) Dia mengajar manusia sesuatu yang tidak diketahui.".

Saya bukan penafsir quran, tapi ketika direnung-renung, kok keren sekali yaa ayat itu? Ayat tersebut diawali dengan kata Iqra’ yang memiliki arti bacalah. Berarti yang dimaksudkan dengan kata Iqra’ memerintahkan kita untuk membaca, meneliti, dan mendalami mengenai ciri-ciri, tanda-tanda secara baik. Terus saya jadi mikir “Oh ini kali yaa tujuan kampus ngadain skripsi? Biar kita belajar lebih dalem (meskipun hanya satu topik yang kita pilih)”. Terus saya mikir lagi, ternyata sepanjang hidup kita pun seolah sedang menyusun skripsi, meskipun gak tertulis tapi tahapannya sama, dan pemahaman itu kita dapatkan melalui pengalaman kita sendiri.

Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya.". Hemat saya, sekolah ya sekolah, pendidikan ya pendidikan. Satu poin menarik lagi yang saya dapatkan dari hasil diskusi di media daring beberapa waktu lalu, pertanyaan saya dijawab oleh Zaadit Taqwa! Wagelaseeh se-senang itu saya? Heuheu.

Tahu siapa dia? Yang beberapa waktu lalu mendapat atensi karena mengacungkan kartu kuning untuk Pak Jokowi dan sampai diundang ke talkshownya Mata Najwa. Saya berani bilang “Gila nih orang!”, dan gilanya lagi postingan saya dijawab olehnya! Heuheu. Saya mengekspose hal ini bukan karena merasa bangga dikomen olehnya yang punya pamor sebagai ketua BEM UI, bukan. Tapi jujur saja, pemikirannya menarik.

Dia menjawab postingan saya yang menggelisahkan pendidikan hari ini masih terpatok oleh predikat sebagai acuan kecerdasan, dalam hal ini dipersempit lebih ke ‘nilai’. Tapi bukan berarti itu pembelaan saya sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja, nakal kurang, intelektual apalagi. Biasanya dosen menyoroti dua stereotipe mahasiswa tadi. Terlebih ada 2 stereotipe lagi –yang kadang menjadi dikotomis– mahasiswa akademis dan organisatoris. Kan saya merasa jadi mahasiswa tembus pandang lagi –yang ada atau tidaknya itu tidak penting–. Di akademis gak terlalu menonjol, organisatoris apalagi, ya itu saya, mahasiswa biasa aja ~

Kembali ke poin diskusi tadi, jadi untuk apa sebenarnya pendidikan kita? ~ Zaadit menjawab: “Kenapa IPK maksimal cuma 4? Karena untuk mencapai 100 kita harus mencari 96 lainnya diluar kelas”. Simple tapi ngena! Yang saya tangkap dari kalimat tersebut: IPK tetap menjadi komponen dalam pembelajaran kita, dan sisanya kita pelajari diluar kelas. “Bisa dibilang, masa-masa menjadi seorang mahasiswa hanya sekali. Setelah lulus kita akan disibukkan dengan berbagai macam urusan hidup lainnya. Nah, di masa-masa ini tentunya perlu kita maksimalkan untuk mencapai berbagai potensi diri. Dan untuk mencapai itu, semua apa-apa yang dipelajari dikelas ternyata tidak cukup. Skill-skill lain perlu di upgrade berlatih tentunya. Salah satu toolsnya adalah organisasi” –tambahnya.

Menarik. Sekaligus menambah wawasan saya yang dangkal ini. Seperti belajar dari berbagai guru. Pertemuan dengan si ibu tadi mengajarkan saya banyak hal, salah satunya “Belajar tidak mengenal usia, karena menjadi manusia adalah pembelajar sepanjang hayat”. Hal itu juga senada dengan hadist yang berbunyi Tholabul Ilmi Minal Mahdi Ilal Lahdi”, artinya mencari ilmu itu dari buaian (gendongan;tempat ayunan bayi) sampai ke liang lahat. Sejatinya kita adalah pelajar abadi dalam sekolah kehidupan.

Semoga bermanfaat :))



Comments

Popular posts from this blog

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Suka Duka Kuliah S2

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhqn