Hai, Adik MABA, Kita Sama-Sama Mahasiswa
Selamat tahun ajaran
baru. Selamat datang mahasiswa baru. Selamat datang adik-adik yang dipundaknya
tersemat harapan masyarakat sebagai agent
of change ~ selamat menikmati hiruk pikuk dunia perkuliahan yang tidak
seindah drama korea. Nyatanya kuliah bukan sekedar melewati alur: ospek-dikecengin
senior-kemudian jadian. Tidak, dik. Hidup tidak seperti FTV jam makan siang.
Bukan bermaksud menggurui, bukan pula merasa telah jadi senior yang digit semester di status akademiknya tinggi, bukan. Saya mungkin hanya lebih dulu merasakan asam garamnya dunia perkuliahan, dik. Bukan berarti juga saya lebih tahu segala hal, nyatanya saya masih belajar dari mana saja dan siapa saja, dik. Kita sama-sama masih belajar.
Sebelum adik-adik
berlabuh dan menginjak medan tempur berikutnya, ini saya bukan menakut-nakuti, ada
baiknya mempersiapkan perbekalan sejak dini. “Lha, memangnya kita mau kemana, kak?”. Kampus adalah pelabuhan
terakhir menuju ‘kehidupan’ yang sebenar-benarnya, dik. Maka persiapkanlah. The real life begins after leaving school. Meskipun
memang sebagian ada yang sudah merasakan pahitnya kehidupan dari jauh-jauh
hari, seperti harus juggling
menyeimbangkan sekolah dan memenuhi kebutuhan hidup.
Beruntunglah saya bisa
mencicipi bangku sekolah tinggi diantara teman-teman saya yang kurang beruntung,
ditambah kultur masyarakat di desa tempat saya tinggal masih menganggap
perempuan berpendidikan tinggi adalah hal yang tabu, pun orangtua saya yang
berlatang belakang tidak berpendidikan tinggi, dan –terlepas dari salah
jurusan– kuliah adalah salah satu nikmat yang patut disyukuri, Alhamdulillah… Kalau
kata teman saya, kuliah itu memperpanjang kontrak waktu nganggur heuheu.
Sebelum jadi mahasiswa,
saya pikir mahasiswa itu keren. Setelah jadi mahasiswa, ternyata mahasiswa itu…
biasa aja. Mahasiswa adalah seonggok daging yang terikat sistem, aturan dan
kaidah, dik. Tidak jauh beda seperti siswa. Bedanya ada kata ‘MAHA’ didepan (Maha? Semakin didepan! #apasiih)
dan kita sendirilah yang mempertanggung jawabkan predikat itu. Jadi harus dengan apa kita
mempersiapkannya?
Kalau saya boleh berbagi,
dik. Salah satu cara menghadapi kehidupan jenjang berikutnya dan mempersiapkan
perbekalan, yaitu melirik kotak pengetahuan berbentuk buku agar tidak gamang
menghadapi real life. Karena materi
dikelas saja tidak cukup. Justru saya banyaknya belajar dari luar keilmuan
yang saya ambil. Ya, saya pikir, menghadapi kehidupan itu butuh formula,
dan di dalam buku itu ada rumus-rumusnya. Namun, saya sarankan jangan sembrono
baca buku, seperti apa yang pernah saya baca, nanti adik nyesel.
Saya mau cerita sedikit. Kemarin-kemarin saya telat baca buku. Nyesel, itu yang merepresentasikan perasaan saya ketika membaca
buku berjudul “Bergeraklah Mahasiswa!” karangan Eko Prasetyo yang merupakan
sekuel lanjutan dari buku “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” –yang ditulisnya juga. Ini jangan berpikir kalau saya akan menggiring supaya ikut-ikutan gerakan mahasiswa, ya. Tidak, dik. Tidak salah. Tenang, saya bukan pentolan gerakan-gerakan mahasiswa kok. Saya mah orang biasa –yang ada atau tidaknya, itu tidak penting–.
Disini saya hanya ingin berbagi. Di usia akademik yang bisa dibilang ‘matang’, saya baru menyentuh buku tersebut. Kemana aja kemarin-kemarin? Seriously, saya nyesel telat baca buku itu, memang sih tahun terbitnya 2017, belum berselang lama. Hanya, ketika baca buku ini pada saat tingkat akhir, pikiran saya sudah sumpek dengan beban tugas akhir, ditambah lagi baca buku ini, makin nambah pikiran saya oleh problem sistem pendidikan tinggi yang kadang membelenggu kebebasan akademik, gerakan mahasiswa yang belum tentu mengikuti arah mata angin, orientasi pemerintah yang terus memproduksi pendidikan ala teknokrat dari rezim ke rezim, pokoknya saya nyesel!
Disini saya hanya ingin berbagi. Di usia akademik yang bisa dibilang ‘matang’, saya baru menyentuh buku tersebut. Kemana aja kemarin-kemarin? Seriously, saya nyesel telat baca buku itu, memang sih tahun terbitnya 2017, belum berselang lama. Hanya, ketika baca buku ini pada saat tingkat akhir, pikiran saya sudah sumpek dengan beban tugas akhir, ditambah lagi baca buku ini, makin nambah pikiran saya oleh problem sistem pendidikan tinggi yang kadang membelenggu kebebasan akademik, gerakan mahasiswa yang belum tentu mengikuti arah mata angin, orientasi pemerintah yang terus memproduksi pendidikan ala teknokrat dari rezim ke rezim, pokoknya saya nyesel!
Nah, makanya adik-adik
maba yang masih jernih pikirannya, jangan sekali-kali baca buku ini, ya. Begini
dik, saya beritahu, buku ini tidak akan mempengaruhi kelancaran kuliah kalian
atau menghantarkan ke depan pintu gerbang kesuksesan yang kalian rancang
jauh-jauh hari. Serius. Itu hanya rangkuman ide-ide liar dari beberapa pemikir
di zamannya. Jadi, tidak usah repot-repot mencerna lembar per lembar buah pikir
yang ada dalam buku itu. Saya aja nyesel.
Saya nyesel kenapa engga
dari dulu baca buku yang isinya terobosan untuk mendorong perubahan, buku yang
membuat saya percaya diri bahwa jalan bagi upaya itu masih lapang dan bisa diikhtiarkan.
Saya nyesel kenapa engga dari dulu berkenalan dengan penulis Eko Prasetyo yang
tidak pernah lelah memenuhi undangan ceramah dan memberikan motivasi untuk
kalangan mahasiswa supaya punya pemikiran progresif dan tergerak mewujudkan
cita-cita sosial agar menjadi lebih baik dan berkeadilan. Saya nyesel!!!
Dan isi buku ini pun
semakin buat saya nyesel. Apa-apaan coba ada segmen wawancara imaginer dengan Albert
Einstein!? Itu kan tokoh Revolusioner!1!11!! Katanya: Kreativitas mewajibkan
kita bersedia untuk tidak patuh. Astaghfirullah.. Sadar hey, statement itu menggiring kita jadi
pemberontak. Bahaya, jangan ditiru! Watak pemberontaknya membuat dirinya kerap
duel pandangan dengan siapa saja. Tidak heran beliau jadi anti fasis, anti
militerisme dan segala yang berbau mentalis kelompok. Tidak heran juga jejaknya
banyak, ya terutama temuan modern yang membuat dunia berhutang besar padanya.
Membaca secuil
biografinya dalam buku itu hanya mendorong kita jadi pengabdi ilmu pengetahuan,
sungguh tidak relatable dengan
kehidupan pribadi kita, dik. Kan kita hidup untuk mencari keuntungan dan menghirup
udara dibawah ketiak zona nyaman, bukan? Asal bisa makan dan aman, jadi buat
apa berjibaku dengan penelitian? Apalagi melakukan penelitian yang mengacu pada
problem kehidupan, nanti kalian tertinggal kelulusan teman-teman seangkatan.
Disaat yang lain berbahagia dengan momen wisudaan, adik masih berkutat dengan
pemecahan persoalan yang mungkin terpakai beberapa tahun ke depan. Maka dari
itu jangan, jangan baca buku ini.
Predikat ‘Genius’ yang
orang-orang sematkan kepadanya seolah penghargaan dari belas kasihan atas keterlambatan
pemahamannya dibangku sekolahan. Padahal, katanya, “Aku tumbuh dari kecintaan
pada pengamatan, dan bagiku waktu itu seperti untaian melodi yang menyentuhku
perlahan-lahan”. Ya, ia memang lamban soal pelajaran disekolahan, statement tersebut seperti sebuah
pembelaan. Tapi, dalam kelambanannya itulah ia dapat berkah karena dapat
menjadi pengamat yang sungguh-sungguh pada fenomena dan selalu haus akan
pengetahuan. Katanya lagi, “Daya tarik pengetahuan itu lemah hingga kau datang
ke kampus seperti tuntutan kewajiban ketimbang keinginan untuk mengetahui dan
mencintai”.
Hmm, anu... memang pada
kenyataannya, dewasa ini orientasi pendidikan masih mengiblat pada kesempatan
berkarir yang mapan. Itu juga yang masih menjalari pola pikir sebagian tetangga
saya yang sering nanya “Kapan?” dan membanding-bandingkan –padahal tidak ikut berkontribusi
menyokong saya dalam mengeyam pendidikan–. Tidak heran pribahasa “Dimana
mahasiswa tingkat akhir berpijak, disitu status akademik dipertanyakan” adalah
slogan yang mensponsori ini tulisan.
Ketika tujuan pendidikan adalah
output pencapaian, karir yang mapan, punya pangkat atau jabatan, tidak heran
masih ada mahasiswa yang mengisi kehidupan mahasiswanya seperti ajang balapan.
Semua itu katanya bisa didapatkan melalui jembatan pendidikan yang membekali
kita dengan keahlian dan tidak sedikit juga lewat invisible hand alias orang dalam. Jadi, untuk apa memupuk
pengetahuan banyak-banyak, apalagi melalui buku semacam ini, toh tidak akan
terlihat dimata masyarakat, bukan? Hehe. Yang dilihat masyarakat apa? Yha imej
perlente lah~
Ditambah lagi ada
beberapa pendapat yang menegaskan pentingnya proses daripada sebuah pencapaian.
Kalau dibaca pasti akan menambah pikiran dan kegelisahan. Contohnya, kata
Kahlil Gibran, “Kamu bukanlah apa yang kamu capai, tapi apa yang kamu impikan
untuk kamu capai”. Hmm hampir senada dengan creator kernel Linux, Linus Torvalds
yang mengatakan “Ketika kamu lebih memikirkan posisi dan pencapaian
dibandingkan menciptakan produk terbaik, saat itu kamu dalam masalah”. Kalau
menilik kondisi hari ini, yha memang kita sedang berada dalam masalah:
mendewakan pencapaian dibanding proses pencapaian itu sendiri. Dan masalahnya,
masalah tersebut dipertegas dibuku ini! Jadi, jangan baca buku ini, ya, karena
tidak akan relatable dengan kultur
masyarakat yang menginginkan semuanya serba instan.
Maaf sebelumnya, dengan
ke-maha-sok-tahuan saya ini, saya menggiring adik-adik maba yang sedang merangkak
meraih gelar kesarjanaan untuk tidak menyentuh buku tersebut, sebab, saya tidak
mau adik-adik dipusingkan oleh beberapa pemikiran Pramoedya Ananta Toer
–pahlawan sastra yang dipenjara oleh penguasa orde baru–, Stephen Hawking –ilmuwan
raksasa yang menjawab misteri alam semesta–, atau Steve Jobs –inovator ulung
yang tak percaya kalau sekolah itu hanya kerja menghapal saja– dan sederet
tokoh lain. Karena dipusingkan tugas kuliah saja sudah cukup pusing. Saya ingin
hidup adik-adik tentram, bisa nongkrong di kafe kekinian daripada di angkringan,
memamerkan gaya hidup ala borju dan segala yang berbau kemewahan. Saya tidak
nyesel kalau adik-adik begitu~
Saya tidak mau adik-adik
tersibak tirai kesadaran dan hati nuraninya hanya karena membaca sepenggal bait
puisi WS. Rendra dalam buku ini. Karena apa, dik? Puisi itu senjata yang bisa
merobohkan dinding kesadaran naif yang tertanam begitu lama. Dan Rendra adalah penyihir
ulung, kata-katanya bak tongkat sihir yang bisa memercikkan api rasa
kemanusiaan. Sedangkan kita yang tadinya merasa aman, tentram, damai, bisa
menjadi gelisah hanya karena sadar bahwa masih ada orang tertindas dan lemah
disekitar kita. Jadi makin repot hidup kita, dik.
Daripada tambah nyesel,
ini saya kasih tau aja. Jadi mahasiswa itu mending main aman. Duduk diam
mencerna pelajaran tanpa digelisahkan oleh permasalahan ketidak-adilan atau
persoalan kenyataan. Harus punya rasa ketidak-mauan berpetualang, biar hidupnya
tenang. Tidak perlu menuangkan gagasan progresif melalui sosial media apalagi
diikut-sertakan dalam ajang kepenulisan, percuma, itu tidak akan menjamin hidup
kalian menjadi mapan. Terlebih ikut-ikutan unjuk rasa menyuarakan aspirasi
dijalan, jangan!
Yha, itu sekilas saran dari
saya untuk jangan membaca buku ini, sebelum menyesal seperti apa yang saya
alami. Tapi, sebelum meng-iya-kan pendapat saya, ada baiknya kalian menjawab
pertanyaan ini dalam hati kalian masing-masing: “Sudahkah kalian mendapatkan
pendidikan yang tidak memasung ide kreatif kalian melalui standar penilaian dan
kehadiran? Sudahkah kalian mendapatkan pendidikan yang tidak mengukung kalian
lewat hafalan teori? Sudahkah kalian merdeka dari tawanan dogma yang
membelenggu kebebasan berpikir kalian?”. Sekali lagi, jangan baca buku ini.
Kita masih sama-sama
mahasiswa, dik. Jadi mahasiswa itu enak, masih bisa salah. Belajar dari
kesalahan saya, jadi adik mau nyesel, tidak? Selamat merenungi !! :p
Comments
Post a Comment