Merdeka & Asa di Ibu Kota –
(sumber gambar: unsplash.com/Jakarta-view)
Suatu ketika orang-orang
urban lepas dari sangkar kampung halaman, mereka terbang berbondong dari segala
penjuru mata angin dan bermuara disebuah tempat bernama; Jakarta. Kota yang
keras, namun kerap dielu-elukan, dengan begitu tak lantas membuat sebagian
orang gentar akan kemilau pesonanya. Barisan gedung tinggi berjejer rapih tak
ubahnya pohon dalam hutan belantara, awan kelabu penuh polutan dicakar olehnya.
Macam miniatur yang berkomposisi manusia dari berbagai Provinsi. Melebur
menyatu dengan beragam Bahasa dan budaya. Ah, siapa pula yang tak tergiur
dengan ladang bisnis yang subur, roda perputaran uang yang bisa dinikmati
banyak orang, juga keadaan modern dikelilingi fasilitas lengkap. Katanya, kota
yang berjuluk ‘megapolitan’ itu menjanjikan masa depan. Benarkah demikian?
Tiap hari manusia
berhamburan menjalani kepentingan, ada yang beraktivitas rutin sebagai orang
kantoran, berdesakan dalam gerbong kereta yang melaju pelan, lalu mengerjakan
pekerjaan berulang dalam ruangan sejak matahari terbit sampai tenggelam, agar
tidak membosankan diselingi dengan hiburan tengah malam pada akhir pekan. Bar bawah
tanah menjadi tujuan, wine ditangan kiri, instastory ditangan kanan agar tidak
ketinggalan zaman. Banyak transaksi gelap dilegalkan, katanya kapan lagi
menikmati kehidupan?
Oh, Jakarta..
Poros kemajuan peradaban dimulai dari membuka mata sampai kembali menutup mata,
manusia sebagai motor penggeraknya. Bila produktivitas terhambat, nafas
kemajuan tersendat. Hitam-putih hidup manusia terlihat disini. Sebagian
melafalkan doa-doa panjang agar kehidupan dialam berikutnya disinari cahaya
benderang meski di dunia berkalang ketidak-mapanan, yang penting hari ini bisa
makan, sebagian lagi terang-terangan mengumbar kenikmatan duniawi yang gemilang,
dikucuri kemewahan meski itu harus bersekutu dengan setan. Sebagian tinggal di
apartemen atau hotel bintang lima kenamaan, sebagian lagi tinggal dikolong
jembatan dengan koran sebagai alas dan berselimut kedinginan. Sebagian orang
menghamburkan uang secara jor-joran, sebagian lagi berkubang kemiskinan. Oh,
Jakarta sayang, kehidupan yang senjang…
Banyak pabrik,
perusahaan, rintisan kuda poni, berdiri disana mengundang sederet gelar
akademis yang terpampang dilembar ijazah seolah mempersilahkan banyak orang
datang kesana. Sekilas seperti pintu yang terbuka lebar dalam sebuah rumah
untuk ditinggali. Sebagai dampak, banyak yang menggantungkan hidup, berjudi
dengan nasib di Jakarta. Disamping persaingan sengit dengan gengsi selangit, masih
ada yang mengambil peran dijalan, bernyanyi sambil menepuk-nepuk tangan bersahut-sahutan
dengan klakson di lampu merah perempatan. Ada juga buruh yang memeras peluh
diantara pori-pori tubuh, yang mengandalkan aktivitas fisik secara repetitif sebagai
pengeruk pundi rupiah. Selamatlah orang-orang yang telaten dan professional.
Namun kehadiran
mesin pintar dan kecerdasan buatan hari ini bagi sebagian orang serupa pedang
yang bisa menebas leher kelas pekerja. Manusia gagap akan tertinggal, bahkan
sangat jauh oleh orang-orang yang berlari menuju masa depan, Revolusi Industri
4.0 istilah kerennya. Keberadaan teknologi seperti dua mata pisau, bisa
memudahkan tapi juga bisa mematikan, alih-alih membantu justru membuntu. PHK
menjadi momok menakutkan bagi mereka –yang merasa tak cukup modal jika harus
dipulangkan ke kampung halaman– karena berprinsip ‘Pantang pulang sebelum
sukses datang’. Di warung kopi sederhana sampai kafe kelas dua, dari karyawan
swasta sampai pekerja lepas membahas revisi undang-undang ketenagakerjaan,
bagaimana kalau-kalau manusia tidak bisa diberdayakan dan perannya tergantikan?
Bagaimana kalau-kalau teknologi itu melebihi manusia dalam hal kepiawaian?
Jakarta selalu
kebanjiran orang, tiap tahun banyak yang datang mencari peluang, kesuksesan
seperti iming-iming yang sering diceritakan. Kehadiran manusia, teknologi,
inovasi dan sejuta perubahan zaman menjadi kilau gemerlap. Dengan sejuta
ceritanya, ditengah wacana pemindahan ibu kota, akankah Jakarta tetap menyala,
atau sebaliknya, hanya tinggal nama? Kelak pusat bisnis dan pemerintah akan
dipisah, pulau sebrang menjadi tujuan, apa kabar Jakarta kemudian? Sebentar
saja listrik tidak dialirkan, lumpuh menjalari kehidupan, banyak aktivitas tak
berdaya karenanya. Semoga baik-baik saja menyertai Jakarta kedepan jika hal itu
direalisasikan sebab banyak orang yang kadung ketergantungan.
Silang sengkarut
manusia dan kepentingannya terus berjalan seiring matahari yang menggelincir
dari ufuk ke ufuk, dari pagi ke pagi orang-orang menghirup udara kota ini.
Meski berjibaku dengan polusi dan kemacetan, tetap saja menjadikan Jakarta
sebagai pijakan. Katanya dari mana lagi mereka dapat menyambung hidup atau
mengisi perut sekadarnya? Dibalik rok wanita tuna susila, ada adik-adik yang
disekolahkan sampai jenjang sarjana, ada biaya rumah sakit orang tua yang harus
dibayar karena tidak ditunjang pemerintah, ada omongan tetangga yang harus
dibeli karena terus membandingkan dengan anaknya. Dibalik pundak para pekerja
keras ada bahu yang luas, ada mental yang siap dicaci atasan demi menafkahi
keluarga dengan cara yang halal meski harga diri menjadi taruhan. Di warung
remang-remang pada setiap malam, ada supir-supir membenamkan diri diantara
keringat bau basah dan keluh kesah janda yang tidak mendapat nafkah selain mengkomersialisasi
tubuhnya, setelah mengendarai truk bermuatan beras hasil petani yang diangkut
sepanjang jalan pantai utara jawa untuk didistribusikan sampai ke perut-perut
orang kota agar sama-sama kenyang, mereka mendesah bersamaan dengan teriakan aparat
yang merazia karena bertentangan dengan nilai norma dan agama.
Ada orang yang
mempertahankan prinsipnya kemudian jadi bahan omongan, diasingkan lingkungan yang
membuat runtuh kepercayaan dirinya lalu merasa tidak aman, ia menggerutui
semesta tidak adil, padahal kalau hitung-hitungan ketidak-adilan, banyak
perkara lebih berat yang dibawa ke meja hijau namun pada akhirnya diabaikan dan
dianggap angin lalu. Oh Jakarta.. banyak orang digdaya semakin berkuasa
sedangkan yang lemah semakin lemah. Tukang becak mengayuh pedal dibawah terik
panas matahari hatinya mulai was-was dengan keberadaan ojek online yang mangkal
disatu aspal yang sama. Dijalanan ibu kota manusia sama-sama mencari makan, tidak
jarang sikut-sikutan dalam mencari penumpang.
Gesekan terjadi
bukan hanya melalui fisik saja, tapi juga pemikiran. Kuli tinta membanjiri
media massa mengabarkan berita terpercaya melalui hasil olah data dan revisi
pimpinan redaksi, memutar otak memilih headline yang pas untuk pembaca
mencernanya, senjatanya hanya kata-kata tapi lebih bahaya dari pisau belati
sekalipun karena bisa menembus nalar ribuan orang, berhasil sudah ia mengambil
peran sebagai lokomotif pembangunan! Sementara itu tersangka pengedar
obat-obatan terlarang ketar-ketir karena akan digelandang, masuk sel tahanan
berbarengan dengan koruptor yang terciduk operasi tangkap tangan KPK dan artis ternama
ibu kota dalam kasus prostitusi yang menjadi wadah pencucian uang. namun karenanya
wartawan berterimakasih dengan adanya kejahatan ia bisa makan, dari hasil
menulis ia mengabarkan berita bahwa negerinya sedang tidak baik-baik saja, ada
yang harus dibenahi dan harus turun tangan menjalankan kewenangan.
Dualisme
kehidupan tergambar jelas di kota yang penuh ambisi. Namun, dari sanalah taraf
(bahkan gaya) hidup mereka meningkat, termasuk status sosial di kampung halaman
karena ramai-ramai tetangga membicarakan. Katanya, jangan menilai seseorang
dari luarnya saja, banyak faktor yang membuat mereka mengambil keputusan dalam
tindakan. Hitam-putih kehidupan serupa kain perca yang bisa direka, derajat
keabuan tidak akan diterima oleh orang yang tak setujuan. Jika memilih
bernoktah, mending pekat, pekat sekalian.
Ya, Jadi apapun
itu, haruslah seperti kafilah yang digonggongi ribuan anjing tetap berlalu,
perjuangkan apa yang harus diperjuangkan, jadilah batu karang yang tetap kokoh
besarnya ombak menggulung dan menerjang. Sebab Jakarta bisa menjadi garang jika
mental kita selembek marshmellow atau yupi, bisa menjadi panggung sandiwara
yang meski kita bersimbah darah tiada seorang pun peduli, yang meski itu
dilihat dengan mata kemanusiaan hanya jadi tontonan jika tidak satu kepentingan.
Meski sama-sama punya batok kepala berisi akal dan pikiran, tetap saja manusia
akan menjadi bar-bar pada masanya jika bersinggunggan dengan uang dan kekuasaan.
Oh, Jakarta.. ternyata dirimu bisa mengubah sifat orang-orang seperti di
sinetron yang ditayangkan berulang. Namun ada sisi Jakarta yang tidak seseram
itu, masih ada orang-orang baik yang Tuhan kirim melalui kado mengejutkan yang
kita jumpai dalam perjalanan. Dalam merpati hikmah yang kita tangkap saban hari.
Petang
menjelang, jarum jam terus berputar, tidak ada waktu untuk meratapi kenyataan, perihal
manusia dan persoalan, sudahkah merasa merdeka dengan kehidupan? Definisi menjadi
merdeka relatif, jika boleh memilih satu kalimat untuk menjelaskan, maka
menurutku “Berhasil mendapat apa yang diperjuangkan”. Sarjana yang melewati omongan
tetangga karena mendesaknya lekas bekerja lalu ia mendapat pekerjaan yang
sesuai harapan. Buruh yang sejahtera karena mendapat porsi 8 jam untuk bekerja-beribadah-bercinta.
Perempuan yang menjadi sosok ancaman bagi penganut patriarki bisa mengambil
keputusan sendiri, termasuk bebas dari catcalling
si penggoda verbal di jalanan yang membuat perempuan tidak aman menjadi
perempuan. Bagaimana cara memerdekakan diri, melawan tantangan hidup masing-masing
dan terus berjalan ke depan.
Dibawah langit
ibu kota, ada asa yang menyala, ada harapan untuk merdeka. Merdeka seperti apa?
Tergantung tantangan hidup dan latar belakang. Lakon harus diperankan meski
naskah belum belum selesai. Ambil peran yang elegan, jika harus mati dalam
perjuangan, matilah di medan peran yang tidak abal-abal. Sampai suatu ketika
kita temui remah-remah roti yang Tuhan taburkan dalam keheningan, lalu mengerti arti dari semua ini apa..? [ ]
Comments
Post a Comment