JATUH CINTA ITU BERISIKO
Jatuh
cinta itu berisiko. Berbahaya tapi di sisi lain membuat kita bahagia. Kali
terakhir merasakan jatuh cinta, sudah cukup lama, mungkin sekitar 3 tahun yang
lalu. Aku masih ingat betul bagaimana cinta itu bekerja, meski tak terucap kata
tapi terasa dengan perlahan namun mendalam. Sederhana namun mampu membentuk aku
menjadi seseorang yang berbeda, dalam arti, menjadi aku yang lebih baik. Menaruh
harapan tidak pernah menyenangkan, namun lain cerita ketika dengan seseorang
yang memang dicintai. Aku tidak mungkin mencintai lelaki, yang dengannya aku
tidak bisa belajar apa-apa. Seseorang yang dengannya aku bisa menjadi
apa-adanya diriku, namun membuatku maju.
Yang
kutahu sejak saat itu, cinta hadir dalam bentuk aneh. Hal-hal sederhana saja
bisa terasa menyenangkan, seperti mengunjungi perpustakaan. Aneh, kan? Dulu aku
tidak serajin itu diam di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas dan kerjaanku,
tapi saat itu apapun yang aku kerjakan terasa menyenangkan. Menulis artikel
dengan bayaran dan jumlah pembaca yang tidak seberapa, tapi bersamanya aku
merasa berharga, ada yang menemani prosesku dalam mencapai semua itu. Bukan
pencapaiannya yang utama, tapi untuk menuju kesana aku butuh didukung ketika
surut semangatku, diyakinkan bahwa mimpi yang aku kejar tidak akan sia-sia.
Dengannya aku menjadi hidup.
Apa
yang kami lakukan mungkin tidak ada istimewanya buat sebagian orang. Memang bukan
dengan kata-kata romantis atau perlakuan yang manis, tapi hal biasa, amat
biasa, seperti baca buku-buku politik lalu berdiskusi setelahnya. Atau bahkan
hal menyebalkan, seperti nanya “Kapan seminar TA?” hahaha. Tapi dengannya, aku
senang, bisa melupakan sedikit kejadian trauma sebelum ini. Semenjak kisah
manisku berakhir, entah, hari demi hari kulalui menjadi asing dengan diriku
sendiri, sulit dimengerti, bahkan aku ragu apakah akan terus begini atau ada
yang menerimaku apa adanya, termasuk mematahkan ketakutanku untuk dekat dengan
lelaki.
Untuk
membuka hati yang menurutku bukanlah perkara mudah, akhirnya bisa kulakukan
setelah dia datang. Memang aku bukan seseorang yang pandai memberikan kesan,
aku hanya bersedia menemani dia yang butuh hadirku tanpa minta balasan. Aku tidak
ahli dalam membuat seseorang betah tinggal berlama-lama, apalagi mengekangnya
untuk tidak kemana-mana, itu bukan hak aku sebelum terikat apa-apa, aku
memberikan kenyamanan se-apa-adanya diriku yang tidak pernah dituntut ini itu. Aku
juga bukan seseorang yang mudah untuk mencairkan suasana dan lebih banyak diam,
terutama perkenalan awal dengan orang baru di hidupku.
Awal
mula aku mengira ia mendekati hanya untuk mengusir sepi, tidak bilang sayang, tidak
bilang cinta, tidak menuntut diakui, apalagi memberikan apa pun hanya untuk
dibalas dengan suguhan tertentu, tidak, kami berjalan dengan apa adanya sebagai
kawan yang lebih dekat dari sebelumnya. Sedikit demi sedikit dia
memperlakukanku lebih dari kawan biasa. Sampai aku merasakan kejanggalan “entah
ini apa namanya?” kami sudah berjalan, tapi semakin jauh, justru semakin
tak mengerti “sebenarnya kita ini apa?”.
Karena
kawan biasa sepertinya tidak akan seperti ini rasanya. Entah aku yang terlalu
berharap, atau dia yang sengaja menaruh harapan? Perlakuan biasa yang kemudian
berubah jadi istimewa, aku mengira dia memang berbeda dari kawan laki-laki yang
lain, bahkan orang lain mengira kami memang “ada apa-apa”. Satu hal yang selalu
diinginkan perempuan, yaitu kepastian. Bukan apa-apa, karena sebelumnya pernah
kehilangan dan terluka amat dalam, aku berani mempertaruhkan diriku untuk
menanyakan hal itu demi kebahagiaanku. Jatuh cinta memang berisiko. Dan
menurutku, pertanyaan itu adalah ‘awalan dari sebuah akhir’.
Karena nyatanya orang itu hanya singgah, tidak sungguh. Ingin dekat tapi tak mau terikat. Dia ingin berkawan, lantas aku menganggapnya menaruh perasaan karena sesuatu yang dia sendiri lakukan. Seseorang yang pada akhirnya aku tahu tidak benar-benar menginginkanku, hanya ingin menemaniku, dan aku harus memilih, bertahan dalam kondisi seperti ini atau harus kulepas meski perasaan yang ia tinggalkan tidak pernah benar-benar lepas?
Terima
kasih sudah datang dan kembali hingga akhirnya membuatku sadar jika aku ini
masih belum layak untuk dicintai. Lalu setelahnya, terulang lagi. Kadang-kadang
aku lelah, seperti mahasiswa yang mengulang pelajaran yang sama.
Tuhan,
Bolehkah aku diperlakukan layaknya perempuan normal yang dicintai, didekati dan
diberi kepastian, bukan sekadar menjadi salah satu pilihan? Tuhan, adakah
lelaki yang benar-benar menginginkanku tanpa beranjak pergi? Aku masih menunggu
disini, sendiri.
/hanhanifa.
Hilang ya hilang, pergi ya pergi; sepasrah itu sekarang?
ReplyDeleteYang jelas tidak semua mau dia harus tau, cukup pada Tuhan kamu mengadu.