Pulang dan Rindu


 

Sabtu malam kala itu. Secangkir hot chocolate sudah kuteguk setengahnya. Aku masih menatap layar laptop, memikirkan apa yang hendak kutuliskan. Tak lama ponselku berdering, sebuah panggilan masuk. Entah sejak kapan nama itu tak muncul, kini dia hadir kembali. Kuangkat, namun aku terdiam cukup lama, dia cuma bilang “Halo..”. di sebrang sana, “Assalamualaikum..” katanya kemudian, aku masih diam, tapi disadarkan dengan sebuah panggilan “Purnama?”, kata itu menjadi panggilan khusus darinya untukku, pecah lamunanku.

“Ya?” aku memberanikan diri bersuara “Walaikum salam”.

“Tumben nelpon, ada apa?” tanyaku.

Dia bilang “Gapapa, pengen denger suara kamu..”

Masih dengan orang yang sama dan sifat yang sama, bilang kangen aja apa susahnyaaa!? Ini antara dia yang gengsian atau aku GR, ya? Namun kalian tau kan, jangan ragukan ketajaman intuisi perempuan, bukan sekali dua kali dugaanku selalu tepat sasaran. Aku tau dia menelepon pasti ada maksud dan tujuan, gak mungkin dong gak di-trigger oleh suatu hal? Gak mungkin dia iseng mencet kontak bernama aku, lalu meluangkan waktu untuk bicara denganku? Percikan kecil di hati seolah mendorongku untuk bertanya “Rindu?”.

Kami terdiam cukup lama, mungkin malu, aku yang akhirnya bernyali menanyakan hal itu tapi dia enggan mengaku.

“Kalo iya kenapa?”. Dia balik bertanya, akhirnya mengakui juga.

Aku hanya menjawab “Gapapa, nanya aja”. Tiga detik berlalu bibirku berhasil tersenyum.

Terima kasih ya, kamu udah sudi menyapaku lebih dulu. Akhirnya setelah lama tak bersua, aku dengar suara itu kembali mengudara.

Terakhir kami berbincang itu sekitar tahun lalu, ya, 2020, entah aku lupa bulan apa, intinya membahas topik tesis yang akan kuambil. Terus dia nanya “Apa bedanya tesis sama skripsi?”, pertanyaan basic yang juga aku tanyakan kepada dosenku saat pertama masuk kuliah beberapa waktu lalu. Ya aku senang sih, ingatanku tentang “materi” itu jadi mencuat dan dibahas kembali.

Sebab kini, kami berjarak terlampau jauh. Terbatas oleh ruang dan waktu, jadi sedikit sapa hangat tak pernah gagal memantik daya ingat. Dulu, tawa kami melebur dalam satu waktu, bertatap wajah dan mata di kota yang sama, Bandung. Kota yang amat disenangi pendatang karena cuacanya yang adem, masyarakatnya yang ramah, wisata dan kulinernya beragam, gak heran banyak pelajar yang melabuhkan hatinya untuk mencari ilmu disana dan merasa betah, lalu setelahnya? Terlanjur nyaman tapi dipisahkan keadaan.

Berawal disatukan oleh Pendidikan, lalu berpisah karena masa depan. Beberapa perantau yang sudah menyelesaikan pendidikan, pada akhirnya harus kembali dengan jalan hidupnya masing-masing. Seolah lahir jadi manusia baru yang lebih dewasa, setelah sarjana ada yang udah bekerja di perusahaan ternama, mulai merintis usaha, bahkan ada yang udah berkeluarga. Pasti banyak perubahan dan cerita baru yang tak terdengar dari kawan lama.

Dan kami? Adalah dua orang asing yang kembali dekat. Entah karena sentuhan layar ponsel sebagai perantara yang mengikat, atau hati yang satu sama lain masih saling terbuka? Cerita tentang Bandung gak pernah habis dalam kepala. Sedangkan cerita kami berdua akan selalu jadi tanda tanya yang menyenangkan.

“Suara aku jelas, gak?” kataku sambil menyambungkan kabel headset ke ponsel. Maklum sinyal di daerah tempat tinggalku kadang gak stabil, dan kami sedang melakukan panggilan dalam jaringan.

“Jelas, kok.” Katanya.

“Jelas?”

“Iya jelas.. Kitanya jelas, gak?” percobaan pertama darinya.

“Hah?”

“Headset kamu deket hidung?”

“Iya, kenapa?”

“Napas kamu kedengeran”.

“Hehehe.. Biar jelas kan… kitanya”. Gak jauh beda, aku juga mencoba.

Mencoba mencairkan suasana. Biar gak kaku-kaku amat. Setelah lama tak komunikasi kami jadi dekat, kembali hangat. Dia bilang aku aneh, tapi dia selalu memaklumi keanehanku, dia bilang aku manusia random, tapi dia selalu memahami ke-randomanku. Aku dipanggil “wanita absurd”. Gapapa, otentik. Aku selalu yakin dengan jati diri, keaslian, entah apapun itu namanya. Identitas yang melekat dalam diri kita, selain nama, yang akan diingat adalah karakter. Maka dari itu aku tidak akan memalsukan diri hanya untuk disenangi atau untuk menarik perhatian orang lain, tidak sama sekali. Sungguh kepalsuan itu hanya akan menyiksa dan gak akan bertahan lama. Aku senang menjadi apa adanya diriku, dan senang juga bersama dia yang menerima aku apa adanya.

Tak terasa dua jam berlalu, kami masih terhubung dalam panggilan yang sama. Sudah banyak yang dibicarakan, mulai dari pekerjaan, perkuliahan, sampe hal-hal yang terjadi di dunia; Pemilihan Presiden Amerika, Dampak corona terhadap masyarakat, fenomena nikah muda dan perkembangan tempat tinggalnya kini –salah satu daerah yang disorot media sebagai penyangga ibu kota (baru) nantinya. Ironinya, disana kaya sumber daya alam, berbanding terbalik dengan fasilitas dan pembangunan. Ah, bicara dengannya selalu tak kehabisan bahan. Kalo stuck, tinggal aku pancing dengan 5W+1H, aku kan terbiasa wawancara hahaha, usaha yang mudah dilakukan :p

Namun sadarkah, bahasan yang terlalu global justru membuat lupa hal paling sederhana diantara kami, eh, kita maksudnya. Hal makro adalah dunia yang dia suguhkan padaku, dan kami hidup didalamnya. Sedang hal mikro seperti perasaan, seperti tersirat saja. Dia tidak bilang dia mencintaiku tapi bisa meluangkan waktu untuk berbagi cerita rupa-rupa hidup, berani mengurai keresahan begini dan begitu kepadaku. Apakah ini sebagai bentuk rasa yang disembunyikan? Bukan karena mainku kurang jauh dan menganggap sedikit perlakuan spesial darinya itu sebagai ekspesi perasaan, bukan, tapi aku menangkap, ketika dia bercerita, ada sisi “needs” yang hanya bisa diisi olehku. Maksudku, didengarkan selayaknya lelaki yang butuh rumah untuk pulang, merebahkan keluh kesahnya setelah bertualang.

Sebab rindu dan pulang adalah sepaket. Tak terlisan, namun bisa terasa menghangatkan.

Sabtu itu kita larut pada ujung malam, dengan kantung mata berat, baterai ponsel yang lemah, jaringan tidak stabil, dan apa-apa saja yang tidak bisa diajak berkompromi --namun selalu kita maklumi.

Dalam bentang khatulistiwa yang berbeda. Jauh raga terjarak, namun selalu bertanya “Apa kau menatap purnama yang sama?”.

Tentang segala ketidak-mungkinan namun tetap kita lakoni sejauh ini. Kita selalu membahas apa yang terjadi di dunia, sesekali aku ingin menjelaskan kita pada dunia yang kadang berpura lupa, bahwa kita ada. Terima kasih sudah menjadikanku cahaya di setiap malammu. Denganmu malam selalu hidup.

-Purnama.

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Suka Duka Kuliah S2

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhqn