Putus Baik-Baik Itu Ada

 



“Kalo baik-baik aja, kenapa putus?” ujar seorang kawan yang tahu kisah kami begitu lama

***

“Baik-baik” disini hanya etika mengakhirinya saja, setidaknya ada “Bahasa” yang terlintas setelah perpisahan. Selebihnya, gak ada yang baik-baik. Kami sudah melewati badai yang amat besar dan dapat kesimpulan untuk selesai.

Sekitar 2 tahun lalu, ada lelaki yang pamit dari kehidupanku. Dalam arti, dia melangkahkan kaki untuk menikahi perempuan pilihannya, sedangkan aku hanya sepenggal kisah masa lalunya. Mungkin karena itu dia pergi dengan pesan, sebab kami pernah saling memberi kesan. Jadi aku bilang “baik-baik” karena dia pamit dengan sopan.

 

Iya, aku ditinggal nikah. Sedih? Manusiawi, saat itu mentalku terguncang parah. Ya ditinggal wisuda, ditinggal nikah pula. Hahaha. Awal ketika kami tak lagi bersama, rasanya hambar, aku kehilangan arah, entah dibawa kemana hatiku selanjutnya, yang pasti kondisinya saat itu sangat berantakan. Tak munafik, aku perempuan berperasaan.

Sering aku larut dalam kesedihan, karena apa? Kami pernah mengukir cerita teramat manis. Aku penulis, dia penulis. Pemikiran kami kawin; dan lahirlah anak-anak puisi yang abadi. Aku dengannya hendak menulis sebuah buku, tapi seiring berjalannya waktu, karena keegoisan kami di masa muda, atau karena cerita yang kami buat telah sampai di halaman terakhir, akhirnya kami memilih jalan cerita masing-masing.

 


“Terus buku kita?” seingatku, ini pertanyaan yang menegaskan kalau kami benar-benar 'udahan'.

“Buku kamu, lanjutkan..” katanya.

Walau perih tapi aku coba mulai semuanya dari awal, sendiri, bangkit lagi, bersamaan dengan itu project buku tadi aku lanjutkan. Dengan atau tanpanya, aku bertekad buku itu harus terbit. Tak ada dendam, walau rasa sakit sudah lama kupendam. Waktu yang membuktikannya, ternyata kejutan tak terduga itu lahir setelah kita mengikhlaskan,

“Bukan lagi buku kita, tapi buku aku!”

Menyenangkan ya, menyibukan diri untuk melupakan seseorang yang menggurat luka begitu dalam, membunuh kenangan yang terlintas dipikiran dan menjadikannya tulisan. Ku beri tahu, “Jangan sekali-kali menggores hati seorang penulis, sekali ia terluka, kamu abadi dalam karyanya”. Aku patah hati. Iya, memang aku mengakuinya, namun entah kenapa orang-orang punya pandangan aneh tentang patah hati, seolah itu pantangan –hal yang tak boleh dilakukan– oleh manusia yang merasakan asmara. Mereka mengira itu bentuk kekalahan. Padahal, wajar saja, itu bagian dari kecewa.

Hidup gak melulu tentang bahagia, kan? Kekecewaan lahir dari harapan yang tak terpenuhi, rencana yang gagal, hasrat yang tak terwujud, pupus angan-angan hingga membuat kita patah hati. Seperti cinta yang karam, yang kita kira cocok dan akan bertahan selamanya, ternyata harus disudahi setelah bertahun-tahun bersama.

Menulis bagiku bukan hanya pekerjaan. Kegiatan ini jadi terapi untuk melawan kecemasan dan mencegah depresi. Belakangan, kepalaku bising dengan skenario rumit, tragedi-tragedi muncul dalam bayangan. Membuatku hampir meledak. Untuk mengurai benang kusut dalam kepala aku butuh jeda. Menepi dari keramaian, hampir setiap sore aku duduk di kedai kopi langgananku. Lalu menuliskan beberapa bait sajak, sesekali memandang ke arah jalan, melihat lalu lalang kendaraan dan matahari terbenam. Agak melankolik, ya? Hahaha.

Kau tahu, perempuan lebih lihai mengekspresikan patah hati, ia bisa melewatkannya dengan bercerita, atau meluangkan waktu menyenangkan diri lebih leluasa dengan cara berbelanja dan makan makanan enak. Dibanding laki-laki yang kadang lekas cari pengganti, bahkan yang lebih ekstrem, lari ke minum-minuman memabukkan, walau tidak semua. Perempuan selalu berpikir, ia ingin sembuh dulu. Berdamai dengan keadaan, sebab patah hati serupa proses panjang yang melelahkan. Kita dipaksa menghadapi sesak sendirian, berjalan jauh tanpa tujuan, dan yang paling menyebalkan, dipaksa memahami bahwa tidak semua hal bisa digenggam, ada yang harus direlakan, lepaskan.

Beberapa kisah menyakitkan memang perlu dihilangkan dari bumi, dilarung ke laut biar hanyut terbawa ombak, dibakar dengan bara api, dibuang ke jurang tanpa perlu ditengok lagi. Tapi ada seni menghadapi patah hati yang lebih elegan, yaitu diabadikan menjadi karya, agar orang-orang cukup pintar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti aku melakukannya. Maka dari itu menulis adalah pilihan bijak, bukan?

Nyatanya tidak semua patah hati dirayakan dengan tangisan. Atau jadi alasan menderita, beberapa justru mendorong kita jadi lebih baik. Ini tentang melihat rasa sakit dari sudut yang berbeda. Saat kunikmati perih. Sadar atau tidak, hari yang brengsek dan buruk itu membuatku jadi kuat menghadapi hidup yang pejal, lebih adaptif dari sebelumnya.

Dalam teguk kopi, aku menemukan kedamaian. Kehancuran tak membuatku mati, justru bertumbuh menjadi aku yang baru. Menulis membuatku mengeluarkan ‘full potential’ dalam diri, Ketika sedang menyusun draft buku, aku menyadari sesuatu, barangkali ini cara Tuhan menguatkanku lewat ujian-ujian, sesak itu telah berubah jadi karya yang bernilai. Sakit itu mendorongku menjadi lebih berkualitas. Tidak ada luka yang abadi, perlahan tragedi masa lalu membuatku jadi lebih bijak hari ini, karena tahu salahnya dimana dan apa yang seharusnya kulakukan. Ingat, merutuki keadaan lalu saling menyalahkan tidak akan mengubah apa-apa. Sebuah kebijaksanaan lahir dari keikhlasan menerima.

 


Jadi sebetulnya, buku pertamaku “Perempuan dan Naskah Semesta” itu akumulasi dari rasa bahagia dan kecewa. Yang sudah lewat, relakan saja, agar apa yang benar-benar “milik kita” tidak terhalang untuk datang, tenang semesta udah mengatur porsinya. Semua yang tertakar tidak akan tertukar.

Siapapun yang membaca ini dan sedang patah hati, kemudian merasa terwakili, aku mau bilang ini: “Tidak apa-apa untuk patah hati, itu bukan simbol kekalahan, it’s okay to be not okay, kau masih muda dan luka itu hal biasa. Nikmati perihnya, patah hatilah dengan cara berkelas!”. Buktinya patah hatiku udah jadi royalti. Tunggu aja karya keduaku, yaaa! 😊

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

"Classmate" Band Asal Subang Ciptakan Lagu Ber-taste Intenasional

REVIEW BUKU : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Menolak Lupa, 2 Tahun Tragedi Kanjuruhan